Lalu Lintas

21/08/2009

Sudah menjadi hal lumrah ketika aku berkendara, entah bermotor sendiri atau numpang mobil keka, aku mengeluarkan kata-kata umpatan. Umpatan – yang menurut Keka datar dan lempeng – hanya untuk mengeluarkan amarah sesaatku. Umpatan yang selalu membuat Keka tersenyum. Berbagai jenis kata umpatan pernah aku tumpahkan kepada sesama pengendara di sepanjang jalan di kota ini. Kadang aku mengumpat karena sesuatu hal kecil dan umpatan lebih keras akan muncul untuk hal yang lebih berbahaya lagi. Meski tidak jarang pula aku berucap maaf ketika tindakanku membingungkan pengendara lain.

Dan sore itu, sehari setelah perayaan kemerdekaan, aku berkunjung ke kantor Keka. Biasanya aku datang setelah jam kantor untuk sekedar berkelana di dunia maya meski alasan utamanya adalah menemani Keka. Menjadi pengangguran membuat semua ini mungkin. Masuk ke ruangan tidak terlalu besar berwarna krem, berjendela kaca lebar yang memungkinkan melepas pandangan ke taman kota. Ruangan yang pas untuk dua orang dengan perangkat seperti meja kerja, mesin cetak, dispenser, rak dan lemari buku, serta sebuah mesin fotokopi. Ruangan yang lengkap untuk menjalankan semua tugas Keka dan temannya, pak Man. Seorang ekspatriat yang ramah dan teman diskusi yang baik.

Ketika masuk ke ruangannya, aku melihat beberapa buku terbuka di meja Keka. Kebetulan sore itu pak Man tidak ada di tempat. Aku pikir Keka pun sedang sibuk menyiapkan pekerjaannya karena memang akhir-akhir ini banyak presentasi yang harus dia siapkan. Saat duduk aku melihat sebuah piring biru berisi potongan buah dan sambal kecap, ah…rujak Aceh. Pasti segar rasanya makan rujak di sore hari yang lumayan gerah ini. Aku pun menyapa Keka dan duduk di kursi pak Man.

“Hai Keka…apa kabar? Sedang sibuk apa?”, semburku dengan beberapa pertanyaan.

“Kabar baik..iya nih, lagi ngerjain presentasi tentang MDG,” jawabnya membenarkan tebakanku. Ya, Keka memang seorang wanita pintar yang selalu menemaniku berdiskusi tentang apa saja; budaya, sosial dan politik. Meskipun kami kadang ngotot mempertahankan pendapat, tetapi selalu bisa mentertawakan perbedaan itu.

“Keka maem rujak? Beli dimana?”, tanyaku lagi. Ini tipe basa-basi interogatif batinku berkomentar. Baru datang sudah bertanya segala macam hal yang tak perlu, basa basi yang basi. Dan, kami pun terus bercakap hingga seseorang mengetuk pintu.

“Hai bli…apa kabar?”, sapa bu San. Ia seorang staf di kantor tersebut yang selalu ceria. Selalu menarik mendengar cerita-ceritanya karena gaya teatrikal yang ia bawakan. Dan kawanku satu ini selalu tertawa – terkadang berkesan mentertawakan – tentang hal yang kami bicarakan. Singkat cerita, ia baru saja kembali dari rumah sakit untuk menemani kawannya yang menjadi korban kecelakaan. Kecelakaan.

Cerita ini disadur dari tuturan bu San yang kira-kira seperti ini: salah seorang temannya siang itu berkendara dengan sepeda motor menuju kantor. Saat ia hendak berbelok, tiba-tiba muncul seorang pemuda bersepeda motor melaju kencang dari arah berlawanan hingga menyenggol setang sepeda motor bu Epa. Kehilangan kendali, ia pun terjatuh menghantam trotoar beton, kepalanya membentur lantai beton. Saat dibawa ke rumah sakit, kepala di sisi sebelah kanan bengkak dan menunjukkan tanda pendarahan di dalam. Saat bu San kembali, bu Epa masih harus dirawat di rumah sakit serta pengecekan di kepalanya karena masih merasa pusing. Sementara, pemuda pengendara motor laknat, yang menabrak bu Epa, kabur melarikan diri.

Sebenarnya lalu lintas di kota ini tidak cukup padat, hanya pengendara motor dan mobil kadang memang menjengkelkan. Hanya agar segera sampai di tujuan semua harus berkendara dengan kecepatan tinggi dan melupakan rambu-rambu lalu lintas. Kadang untuk membeli sebatang rokok di warung yang berjarak kurang dari 100 meter, seorang pengendara ngebut seperti dikejar setan. Sore itu, bu Epa adalah salah satu korban dari kekacauan ini.

Teringat kejadian yang menimpa putri dari induk semang di pondokanku. Kejadiannya lebih kurang setahun lalu dan hampir mirip dengan yang dialami bu Epa. Saat si putri  berkendara sepulang kantor tiba-tiba dari arah berlawanan di lajur yang sama meluncur seorang anak membawa sepeda motor dengan kencang. Tak terhindarkan, tabrakan adu kepala pun terjadi. Si anak sialan tak tahu lajur ini kabur melarikan diri. Si putri terlempar dan terjerembap tak sadarkan diri sebelum akhirnya ditolong oleh orang yang kebetulan melintas disana. Sampai akhirnya ia tersadar tengah berada di sebuah rumah sakit untuk kemudian dirawat selama beberapa minggu.

Lukanya cukup parah, kepala dibagian wajah bengkak dan luka-luka karena berbenturan dengan aspal. Meskipun ia telah menggunakan helm, tapi tetap saja helm itu tak bisa mencegah akibat fatal dari sebuah benturan. Beberapa jahitan melintang di bawah mata kirinya. Ia harus melakukan pembedahan untuk menghindari cacat karena bekas luka tersebut. Kurang sebulan lebih ia dirawat di rumah oleh orang tuanya. Trenyuh sekali aku melihatnya, karena ulah anak sialan tak tahu lajur itu, dia harus menerima segala luka fisik dan trauma. Sekali lagi aku melihat korban dari sebuah kekacauan lalulintas.

Beberapa waktu lalu, rasanya diakhir tahun lalu, Keka dan saya sedang berkendara hendak menuju pantai. Kami baru saja melewati jembatan penuh cahaya yang saya tuliskan di blog ini sebelumnya, berbelok ke kiri ke arah perempatan kodim, sebelum akhirnya berbelok ke kanan ke arah masjid Baiturahman. Di perempatan ini terdapat lampu pengatur lalu lintas, biasa dikenal sebagai lampu merah meskipun ada warna kuning dan hijaunya. Aku berkendara lambat karena lajur ini adalah lajur pertemuan kendaraan dari dua arah. Seperti halnya dua anak sungai bermuara di persimpangan yang sama. Riuh, kalau tidak hati-hati celaka kita tanggung.

Setelah melewati simpangan itu aku melaju mendekati lampu merah. Dan ketika lampu berwarna hijau, sepeda motor yang berbaris segera melaju ke arah tujuan masing-masing. Ketika  itulah aku lihat dua orang wanita berseragam putih dan berkerudung hijau, tampaknya murid-murid sebuah sekolah perawat, menyenggol sepeda motor butut yang dikemudikan oleh seorang bapak tua. Kulihat pengendara wanita itu memotong jalur ke arah kanan dari posisi sebelumnya yaitu di sisi kiri tanpa mengindahkan pengendara di sekitarnya. Saat melaju itulah, senggolan dengan si bapak tua tak terhindarkan. Si bapak tua terbanting dengan sepeda motornya dan kulihat beberapa bagian dari sepeda motornya hancur berkeping diiringi suara keras. Menyadari telah menyebabkan kerugian terhadap pengendara lain, si wanita tukang potong jalur ini tetap melaju kencang meninggalkan lokasi kejadian. Polisi? Jalan itu memang persimpangan utama, tetapi hanya ada dua tiga orang polisi sedang sibuk ber-sms meski akirnya datang menolong. Koleksi kejadian yang aku lihat pun bertambah.

Siang tadi, seperti biasa aku membeli koran harianku di Peunayong. Area ini dikategorikan sebagai kawasan pusat bisnis lama. Terdapat banyak rumah toko yang menyediakan berbagai barang dan jasa. Langgananku, biasa kusebut tukor (singkatan dari tukang koran), terletak di ujung pasar buah diapit barisan penjual buah dan bengkel sepeda motor. Tepat diseberang sebuah sekolah menengah pertama. Area ini memang sangat kacau, para pengendara, entah mobil atau motor, tidak menghiraukan rambu-rambu lalu lintas yang terpasang dan sering kali parkir seenak perutnya sendiri.

Saat aku membayar koranku, aku naik ke mobil Keka. Berjalan perlahan ke arah utara untuk keluar dari keruwetan ini. Tetapi tidak jauh di depan, sebuah mobil berwarna hitam tampak teronggok di tengah badan jalan. Di sisi kiri kanan jalan memang tidak memungkinkan untuk parkir lagi. Semua sisi terisi oleh mobil yang parkir gaya ‘bibir nempel’. Tak peduli kalau bokong mobil menyembul hingga ke tengah jalan. Sebenarnya  ada sebuah mobil niaga bergerak perlahan didepanku tampak kesusahan untuk menelisip diantara dua bokong mobil. Pengemudi mobil itu tampak sabar. Tetapi tidak denganku. Aku pencet klakson mobil Keka, paling tidak untuk memberitahukan ke pemilik mobil yang parkir sembarangan itu bahwa dia tidak bisa meletakkan mobil begitu saja. Bahwa itu bukan jalan milik nenek moyangnya dan masih ada pengendara lain yang berhak untuk memanfaatkan badan jalan. Bahwa parkir adalah menempatkan kendaraan disisi jalan untuk beberapa saat dalam sebuah rangkaian yang teratur. Ya, di sisi jalan, bukan di tengah jalan.

Sesaat kemudian, tampak seorang pemuda sepantaranku, berbadan gempal tidak lebih tinggi dariku berjalan membawa setumpuk surat kabar masuk kedalam mobil hitam itu. Aku turunkan kaca jendela mobil Keka, aku keluarkan kepalaku sambil memandang ke arahnya dan kutunjukkan tanda mengetuk-ngetuk jidat dengan jari tengahku sambil menunjukkan mimik mengejek. Menariknya, dia tampak tidak terima dengan bahasa tubuh yang aku tujukan untuknya seorang. Ia bunyikan klakson mobilnya sebagai tanda perlawanan. Ah, gertak sambal saja. Sudah salah, masih sok. Betapa aku ingin menyumpahi lebih lanjut tetapi kuurungkan. Kadang memang harus selalu kuurungkan niatku yang berlebihan karena aku berada di mobil Keka, dan itu mungkin akan membahayakannya. Mobil terus berjalan dan aku berusaha menguasai diri. Oh…siang ini aku mengumpat lagi.

Saat aku di kamar mandi, terbayang lagi semua situasi yang aku alami, terlalu banyak pelanggaran, tetapi tidak tampak pihak yang seharusnya bertanggung jawab untuk mentertibkannya. Terpikir olehku bahwa semua kejadian yang aku lihat adalah pertanda runtuhnya sebuah sistem, sistem yang lebih besar dari sekedar perilaku berkendara.  Runtuhnya sebuah sistem yang menaungi lembaga dan masyarakat pelaku dalam kerangka ketertiban, keteraturan dan kebersamaan. Runtuhnya sebuah sistem dimana disiplin menjadi dasar bagi siapapun saat bertindak. Runtuhnya sebuah sistem yang mendukung terjadinya pelanggaran berulang hingga dianggap biasa dan dapat diterima.

Terngiang ucapan seorang petinggi di kota ini,”Kita harus berdisiplin, tanpa disiplin kita tidak akan sukses di setiap hal yang kita lakukan.” Aku duduk termenung, menutup mata, menarik napas dan membuangnya dalam desahan panjang. Aku keluarkan emosi negatif dari dalam hati dan pikiranku untuk satu tujuan, menikmati hidup. Mudah-mudahan akan ada umur panjang bagi kita semua untuk mewujudkan ketertiban, keteraturan dan kebersamaan itu.

110809

12/08/2009

Pagi ini aku bangun lebih awal. Entah mengapa, meskipun tidur kurang dari lima jam, aku merasa harus segera beranjak dari tempat tidurku tanpa menghiraukan rasa kantuk. Memang, kedua mata ini rasanya sudah tak bisa terpejam lagi. Sepertinya udara pagi hanya menyisakan kegerahan. Dan seperti biasa, telepon genggam adalah hal pertama yang aku jamah untuk diaktifkan. Bukan apa-apa, aku perlu tahu jam berapa sebenarnya saat itu. Di kamarku memang tidak tersedia jam dinding, sementara jam tanganku akan berhenti beroperasi bila tidak digunakan dalam waktu lebih dari 48 jam – hingga tulisan ini dibuat jam itu sudah beristirahat selama seminggu. Jadi, mau tak mau harus bergantung kepada waktu yang tertera di layar telepon pemberian Keka.

Belum aku beranjak dari tempat tidur, telpon berdering. Kulihat nama Keka tertera di layar. Tak biasanya ia menelpon di pagi hari, biasanya ia mendahului dengan sms berisi ucapan ‘selamat pagi’ dan bertanya bagaimana tidurku, atau memberitakan lokasi keberadaannya seperti ‘Keka udah di kantor nih’. Dan pagi itu, jam 8:30, ia masih dirumah kosnya.

“Halo sayang…, udah bangun?” sapanya.

“Halo Keka…baru aja bangun. Gimana boknya sayang? Keka udah di kantor?” kataku.

“Belum, mobil Keka nabrak. Ni masih dirumah” sahutnya lagi. Begitulah, langsung menyampaikan apa yang terjadi.

“Nabrak apa? Gimana kejadiannya?”, tanyaku sedikit menuntut penjelasan mengobati kekagetanku.

Akhirnya keka memutuskan untuk datang ke pondokanku untuk bercerita lebih banyak dan aku berasumsi bahwa tidak ada korban dalam kecelakaan itu. Sekitar 15 menit kemudian, ia sudah berdiri memanggil-manggil di depan kamar pondokanku sementara aku masih asyik dengan kewajiban pagi hariku. Kurang afdol rasanya kalo di pagi hari aku tidak merasa mulas.

“Sayang…” panggilnya.

“Iya.., ni lagi di kamar mandi, tunggu bentar. Masuk aja!” teriakku mempersilahkannya masuk.

Setelah selesai dengan urusanku, ia pun bercerita mengenai apa yang terjadi. Dimulai dengan situasi saat ia memanaskan mesin mobil dan kemudian teringat bahwa ada dokumen kantor yang tertinggal di kamarnya. Dilanjutkan dengan bagaimana ia tergesa-gesa keluar dari mobil menuju kamarnya untuk mengambil dokumen. Ah Keka…kenapa selalu tergesa-gesa? Kemudian bercerita tentang mobilnya yang berjalan mundur karena Keka lupa menarik rem tangan hingga menabrak tembok rumah tetangga kos. Saat itu juga kami putuskan untuk segera pergi ke bengkel untuk memperbaiki bumper yang tidak presisi dan melakukan sedikit pengecatan.

Hari ini bukan hari yang indah, karena seharian itu ia tidak menunjukkan keceriaan seperti biasanya, tidak ada tawa, canda dan manja a la Keka. Bukan hari yang indah karena ketika makan ia sibuk berinteraksi dengan laptopnya untuk mengirimkan dokumen yang ia janjikan kepada seorgan koleganya. Terus terang, percakapan kami waktu itu pun terasa garing. Bukan hari yang indah karena ketika kembali ke pondokanku setelah makan siang, kami pun tidak bersemangat untuk bercengkrama. Ia meneruskan pekerjaannya, sementara aku tidur siang karena tidak tahu apa yang harus dilakukan – belakangan ini aku memang selalu tidur siang teratur. Bukan hari yang indah, karena bapak kos berjalan pura-pura lewat sambil mengintip kamarku…

Akhirnya kami bisa menyelesaikan hari meski dengan perasaan aneh. Di sore hari kami sempat menikmati mie ayam langganan mbak U’uk yang juga menhidangkan telor rebus dan perkedel sebagai makanan sampingan. Kami juga masih menyempatkan diri untuk on-line di kantor Keka. Dan saat berinternet, kami sempat berkomentar mengenai anehnya hari yang kami lalui bersama. Tentan kejadian yang dialami Keka di pagi hari. Tentang bagaimana aku tidak bisa menjaga moodku sehingga tidak bersemangat. Tentang bagaimana Keka selalu teringat mengenai kejadian di pagi hari. Tentang kelakuan bapak kos. Tentang panasnya siang. Hingga aku pun mengantarnya pulang.

Ketika aku tiba di rumah kos, sebuah sms dari keka menyapa:

Sayang, makasih ya untuk kebersamaan di hari ini.

Untuk selalu ada di saat susah dan senang.

Met istirahat.

I love you so much! Mwuah…

dan pesanku untuknya:

Keka juga met istirahat.

Belajar dari apa yang terjadi hari ini.

Tidur nyenyak.

Besok bangun pagi dan semangat lagi.

I love you.

Mas Arswendo – yang penulis kondang itu pernah menulis: “Pagi yang indah ialah ketika kamu bangun untuk meneruskan mimpi semalam”. Keka, mudah-mudahan malam ini mimpimu indah…good nite.

An utterly ravishing evening of Banda Aceh: jadi foto model

07/08/2009

Berhubung keka membeli sebuah kamera Canon terbaru – kamera yang sudah lama jadi impiannya – mau tidak mau aku menjadi model dari acara jeprat-jepretnya. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik untuk difoto meskipun tidak pernah menolak untuk berfoto. Tapi demi sayangku padanya, aku penuhi permintaannya meskipun malam itu aku belum mandi. Lumayan, sekalian latihan modelling pikirku. Maka jadilah aku seorang foto model di malam purnama itu.

Sebelumnya keka dan aku menikmati kopi dulu di warung kopi chek yuke. Warkop yang terkenal di seantero Aceh. Selain karena rasa kopinya, warung ini terletak di pinggir sungai Aceh atau krueng Aceh. Jadi, ada kombinasi antara kopi enak dengan keindahan. Setelah selesai ngopi, kami berjalan kaki sekitar 50 m menuju taman pembibitan di depan kantor kejaksaan tinggi. Taman ini asri dan rindang meski luasnya tidak seberapa – hanya memanfaatkan sedikit lahan bantaran sungai. Meskipun begitu, dinas kebersihan dan keindahan kota memanfaatkan lahan sempit ini untuk taman pembibitan. Hitung-hitung menambah area hijau yang sudah semakin berkurang – kalah bersaing dengan keangkuhan manusia. Di taman ini terdapat beberapa anjungan di tepi sungai dengan masing-masing sebuah kursi kayu panjang – cukup untuk tiga atau empat orang ukuran sedang – menghadap sungai. Berlantai kayu dan berpagar kayu menunjukan desain alami yang menonjolkan kedekatan dengan alam. Indah.

Dan malam itu, baru saja selesai hujan. Air membasahi dedaunan dan harum tanah basah semerbak disana. Kamboja menebarkan harum bunganya memberikan kesegaran khas. Malam itu juga tak terlalu ramai, hening dan damai. Dan malam adalah malam purnama. Berdiri di tepi anjungan, kami memandang ke arah jembatan pante pirak yang baru selesai dibangun beberapa waktu lalu. Terus terang, ide lampu hias di bawah jembatan itu adalah ide yang menurutku patut diacungi jempol. Malam hari, jembatan ini tidak terlihat seperti struktur masif yang membosankan. Tetapi juga adalah struktur yang memberi keindahan dengan kelip lampu hias yang selalu berganti warna dan berpendar di alur sungai. Struktur yang memberi kesempatan bagi siapapun yang melihat untuk berdecak kagum. Memang tak sebanding dengan Suramadu atau jembatan megah lainnya di Indonesia, tapi jembatan ini adalah sebuah tontonan.

Kilat lampu blitz menyadarkanku dari kekaguman, dan malam itu aku menjadi model jepretan keka…

permainan cahaya

permainan cahaya

gaya 1

gaya 1

hhhhh...

hhhhh...