Do’i pengen jadi raja

Entah apa yang membuat do’i berubah menjadi sosok ketua yang begitu haus pujian tanpa ingin berbagi. Ya, do’i begitu aku menyebutnya. Sosok yang pandai berkelit dengan segala omong besar diluar nalarnya untuk tetap terlihat sebagai pemimpin, dan tentu saja terlihat pandai. Sosok yang berusaha mengelabui anggota kelompoknya dengan kemampuannya berkata-kata tanpa menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang yang berpendidikan dan paham situasi. Hanya mungkin strata yang membedakan. Sosok yang selalu memunculkan kata saya, saya dan saya tanpa menghargai usaha kolektif. Mungkin ini adalah karakter yang sudah ada sejak dulu dan baru muncul, atau tepatnya makin menjadi, belakangan ini. Kalau di komputer istilahnya ‘default‘.

Beberapa hari yang lalu aku membaca sebuah artikel di sebuah koran nasional, ditulis oleh Soe Tjen Marching, seorang komponis yang mengajar di SOAS University of London. Dia mengandaikan kebohongan publik dengan kisah karya HC Andersen. Tentang seorang raja yang berkeliaran ke tengah kota memamerkan jubah indah yang seolah ia kenakan. Sebuah cerita mengenai kebohongan yang bermula dari dibuatnya ‘jubah ajaib dan istimewa’ oleh penjahitnya sendiri. Sebuah cerita mengenai kebohongan para pembesar istana karena ketakutan mereka terhadap sang raja dan akhirnya sebuah cerita mengenai kebohongan publik karena cengkeraman kekuasaan tiran.

Apa yang aku lihat belakangan memiliki situasi yang beda-beda tipis alias beti. Do’i membuat ‘jubah ajaib dan istimewanya’ sendiri tanpa menyadari bahwa dia mulai mempercayai kebohongan-kebohongan yang diciptakannya sendiri. Ya, semua itu berkaitan dengan usaha-usaha untuk menunjukan kepada publik bahwa do’i adalah sosok unggul dan berkompeten. Sementara orang-orang disekelilingnya tidak berani untuk menegur atau memberi masukan karena karakternya. Hirarki juga menyebabkan hal ini menjadi lebih sulit. Bisa-bisa malah dimusuhi dan dijelek-jelekan. Bisa-bisa malah dia membuat larangan bagi anggota kelompoknya untuk bergaul dengan si pemberi masukan. Disini, do’i tertipu oleh dirinya sendiri.

Perbincangan dalam kelompok diskusi juga tidak membawa perubahan apa-apa. Lebih baik diam dan mengalah agar tidak terjebak ke dalam konflik, yang sebenarnya hanya adu pendapat saja. Lebih baik semua dianggap selesai dan jangan diungkit-ungkit lagi. Tetapi dianggap selesai memiliki makna yang sangatlah berbeda dengan selesai. Yang pertama hanyalah anggapan bahwa sesuatu telah selesai, sementara yang kedua berarti sebuah kondisi yang benar-benar selesai. Yang pertama bagaikan api dalam sekam. Hangat dan lama-lama membumihanguskan. Mudah dan jelas.

Apa yang saya lihat belakangan merupakan cerminan sosok do’i yang mulai kehilangan kepercayaan dari anggotanya. Sosok do’i yang panik karena orang disekelilingnya mulai mengetahui sosok do’i sebenarnya. Kepercayaan tidak muncul dengan sendirinya. Kepercayaan tidak bisa dibeli. Dia tidak muncul karena kemampuan bercuap-cuap atau tuntutan terhadap sekeliling kita. Membangun kepercayaan membutuhkan komitmen dalam segala bentuk. Sebelum do’i menuntut komitmen orang lain, dia haruslah berkomitmen terhadap apa yang dia yakini. Komitmen, sebuah kata yang mudah diucapkan tetapi perlu pengorbanan untuk menjaganya. Selalu datang tepat waktu adalah bentuk komitmen. Ketua yang berkomitmen tidak akan membiarkan anggotanya menunggu baik dalam acara pertemuan rutin. Ketua yang berkomitmen menghargai anggotanya yang datang tepat waktu dan bukannya malah memberi alasan klasik bila dia sendiri terlambat. Aku selalu ingat do’i selalu menuntut komitmen dari anggota kelompoknya. Aku sendiri berkesimpulan bahwa komitmen do’i tidak lebih besar dari anggotanya.

Seorang ketua adalah raja, sang pemimpin. Pemimpin tangguh adalah pemimpin yang memahami dan menjadi bagian dari sebuah proses. Dia adalah sosok yang memahami situasi dan kondisi nyata yang bergulir disekitarnya. Dia akan selalu menyampaikan kebenaran karena berdasar kebenaran itulah dia membangun. Dalam artikel tulisa Soe Tjen Marching itu, saya membaca pernyataan Nietzsche bahwa seorang seniman hebat tidak mengutamakan keindahan untuk membuai publik. Namun, demi menyampaikan kebenaran akal dan hati, ia berani mengambil resiko menentang tradisi, kepercayaan, bahkan kekuasaan yang diamini oleh hukum. Ia tidak hanya mencari kenyamanan dan keamanan bagi dirinya sendiri. Sebuah pernyataan yang menurut saya berlaku juga untuk pemimpin.

Raja tidak bekerja untuk mendapatkan puja-puji dan sanjungan. Ia berfokus pada tercapainya tujuan bersama yang dibangun melalui proses mufakat untuk sebuah kesepakatan. Ia memberi inspirasi pada kelompoknya dan membawa perubahan untuk kebaikan. Ia berproses. Kadang ia perlu mendapat cubitan-cubitan kecil untuk kembali menjejak tanah. Kadang cubitan-cubitan itu membuatnya meringis, kadang cubitan itu membuatnya mengebaskan tangan si pencubit, kadang cubitan itu membuatnya marah dan balik mencubit si pelaku. Sudah seharusnya cubitan-cubitan itu datang dari orang di sekelilingnya karena sudah menjadi kewajiban mereka untuk menyadarkan kembali sang raja dari tipuan-tipuan yang dia ciptakan sendiri. Sudah menjadi kewajiban mereka untuk menghentikan pencitraan yang bertolak belakang, pencitraan yang menipu. Dan menjadi pilihan do’i untuk menjadi raja dan mengenakan jubah ajaib nan istimewa sesungguhnya.

Leave a comment