Transisi

30 Juni 2009, adalah hari terakhirku bekerja dengan sebuah organisasi kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Jerman di kota Banda Aceh. Banyak hal yang aku pelajari selama bekerja disana ketika menjadi konsultan pengelolaan lingkungan dan sanitasi. Tak sedikit pula hal yang aku berikan kepada organisasi dan juga counterpart di sana. Berurusan dengan pemerintah baik sistem maupun manusianya memberi pelajaran untuk perjalanan karirku berikutnya.

Hal yang selalu muncul dalam pikiranku adalah kemana aku akan melangkah setelah berakhirnya episodeku di organisasi itu. Adalah sebuah kenyataan bahwa kini aku memasuki dunia lain yaitu dunia tanpa pekerjaan alias menganggur. Kalau tidak salah, teori ekonomi yang aku pelajari saat SMA dulu mengkategorikan aku ke dalam kategori pengangguran terselubung. Hal ini karena statusku sebagai mahasiswa pasca sarjana Universitas Syiah Kuala. Saat ini, aku masih harus menyelesaikan tesis sebagai syarat kelulusan. Apapun kategorinya, aku tidak sabar untuk mengalami dan menikmatinya.

Meskipun penganggur, aku memiliki prioritas yaitu menyelesaikan tesis. Terus terang saja adalah sebuah anugerah bagiku mendapatkan beasiswa untuk menuntut ilmu di universitas ini. Spatial Development Planning, begitu jurusanku disebut. Sudah dua tahun aku belajar disana setiap hari sabtu dan minggu. Sebenarnya aku ingin memanfaatkan akhir pekan untuk meregangkan tubuh dan mengurangi kepenatan yang kudapat dari pekerjaan. Tetapi, kesempatan tidak datang dua kali adalah pesan yang aku hayati sebelum akhirnya memutuskan untuk belajar lagi. Kini aku hanya berpikir untuk menyelesaikan kewajibanku sebagai mahasiswa pasca sarjana. Karena aku ingin segera memulai perjalananku berikutnya.

Dengan selesainya masa tugas, aku memiliki lebih banyak waktu untuk menulis tesis. Dan itu yang aku lakukan di minggu pertama bulan Juli. Aku menulis, berpikir, mencari referensi dan menulis lagi dari pagi hingga sore hari. Beberapa saat setelah bangun, memanfaatkan laptop pinjaman kantor, aku segera menuangkan ide dan teori mengenai analisa multi kriteria dan sanitasi ke dalam 3 bab pertama tesisku. Apapun yang muncul di pikiranku, aku tuangkan ke dalam tulisan. Sungguh mengasyikkan karena dalam waktu kurang dari satu minggu aku bisa menyelesaikan tiga bab pertama. Aku bisa merevisi tulisan menurut masukan dari dua dosen pembimbingku. Aku bisa melakukan pengaturan margin, penomoran halaman, dan pengaturan tulisan menghindari ruang kosong pada kertas. Sebuah pekerjaan mudah tetapi membutuhkan waktu dan ketelitian. Benar-benar menakjubkan.

Ide memang tidak mengenal tempat dan waktu. Terkadang saat aku berkeliling dengan sepeda motor, ia datang dan memaksaku berkomat-kamit menyusun kalimat. Kadang ia datang saat aku duduk di warung kopi menjelang senja, memandang ke arah krueng Aceh menikmati air sungai yang mengalir lambat ke hilirnya. Kadang ia datang saat aku membaca majalah atau sedang berkhayal mengenai percintaan dua sejoli di bawah temaram rembulan. Saat-saat seperti ini memungkinkanku untuk mendapatkan inspirasi. Ya, ide datang tak mengenal waktu dan tempat, dan aku berusaha mengingat apa saja yang muncul sampai aku berkesempatan untuk menuliskannya.

Hal menarik yang aku amati selama menulis adalah perbedaan suasana bekerja di kantor dan rumah. Menurutku, suasana bekerja di rumah lebih mengasyikkan. Saat bangun pagi, pikiran dan hati masih bersih. Beranjak dari tempat tidur, aku buka jendela dan pintu membiarkan sejuk angin pagi mengisi ruangku. Terasa segar. Kutuangkan air kedalam sebuah gelas berukuran besar dan meminumnya sebagai pembuka hari. Setelah itu, mencuci muka dan menggosok gigi adalah ritual selanjutnya. Meski kadang aku menganggap menggosok gigi di pagi hari tidak perlu dilakukan jika kita hanya sendirian. Segelas air akan melarutkan wangi mulut yang dikawatirkan. Sampai akhirnya aku putuskan untuk membuka laptop dan melihat tulisanku.

Biasanya, aku mulai menulis jam 8 pagi dan selesai bila waktu sudah menunjuk lebih kurang angka 5. Diselingi istirahat diantara waktu tersebut sekedar untuk mendinginkan kembali bokong yang mulai panas karena terlampau lama duduk. Kadang hanya sekedar untuk keluar ruangan memandang ke sekeliling dan sedikit peregangan. Tengah hari aku keluar untuk makan siang dan kembali lagi untuk menulis. Dan sedikit pun aku tak merasa lelah.

Ketika bekerja di kantor, aku selalu merasa lelah dan kadang sulit berkonsentrasi. Bekerja dari jam 9 pagi hingga 6 petang terasa menyulitkan terutama saat harus duduk di dalam ruangan ber-AC. Hal lain yang menyulitkan adalah pergantian suhu. Saat aku harus berada di luar kantor, aku berhadapan dengan teriknya matahari. Dan ketika kembali ke kantor, aku harus merasakan dinginnya AC. Ditambah ruangan kantor ini sudah tiga tahun lebih bergantung pada pengatur suhu ini dan sepertinya jendela memang tidak pernah dibuka untuk sekedar penyegaran atau pertukaran udara. Ketiga hal ini sangat menyiksa mata dan kepalaku. Mata merah dan pusing mudah menyergap. Aku harus meneteskan obat tetes dua kali sehari untuk melembabkan dan mengurangi merah kedua mataku. Dan setelah membaca artikel di sebuah majalah bulanan aku pun bertanya, apakah ini yang disebut Sick Building Syndrome? (saya baca ulang, paragraf ini seperti iklan obat)

Dengan porsi waktu kerja yang sama, aku tidak merasa lelah sedikitpun bekerja di rumah tanpa AC dan sinar matahari menerangi kamarku. Mata merah dan pusing juga tidak menyergap. Mungkin kondisi seperti inilah yang lebih cocok untuk aku jalani. Kondisi ini membuat otakku lebih encer dan menyegarkan mataku. Teringat sebuah acara komedi di sebuah stasiun televisi, apakah ini yang dimaksud katrok?

Apapun itu, setelah menulis sepenuh hati dan membaca literatur-literatur yang ada, akhirnya aku bisa menyelesaikan proposal tesisku dan menyerahkan kepada dosen-dosen pembimbingku di hari Jumat minggu pertama Agustus. Mudah-mudahan saja mereka segera mengoreksi hingga aku bisa melakukan seminar dalam waktu dekat. Doakan saja.

Leave a comment