Tidur di Sabang

Capek juga setelah berkutat dengan tesis selama lima hari berturut-turut hingga akhirnya aku putuskan untuk berkunjung ke Sabang. Liburan? Bukan istilah yang tepat untuk seorang penganggur karena setiap waktu adalah liburan. Sabang adalah pulau kecil terletak di sebelah utara kota Banda Aceh yang dibatasi oleh selat Malaka. Pulau ini terkenal karena merupakan tujuan wisata diving dan snorkling. Diperlukan waktu sekitar 45 menit untuk menyeberang dari pelabuhan Ulee Lheu ke pelabuhan Sabang dengan menggunakan kapal cepat. Kapal Ferry memerlukan waktu lebih panjang hingga mencapai 2 jam. Dan lebih lama lagi apabila berenang…(opsi terakhir jangan dicoba karena ombak lagi ganas). Waktu itu aku berangkat hari Jumat siang tepat setelah mengumpulkan proposal thesisku.

Pulau ini pulau yang memberi kenyamanan bagi setiap pengunjungnya. Disamping keindahan alamnya, suasana yang ditawarkan juga berbeda dengan suasana kota Banda Aceh. Tidak bermaksud membandingkan, tetapi di kota ini kehidupan lebih santai dan aku merasa seperti ada di dunia lain. Keka sangat senang dengan pulau ini. Sudah dua kali kami berkunjung dan dia selalu ingin kembali. Untaian pantai pasir putih dengan taburan kerang-kerang kecilnya disertai debur ombak sungguh membuat kami merasa tenang. Air asin yang membasahi tubuh kami saat berendam seolah meluruhkan semua persoalan hidup yang kami temui. Dan biasanya, setelah selama dua atau tiga hari kami tinggal, jiwa kami terasa segar dan bahagia.

Selama berkunjung di Sabang, kami biasanya menginap di Freddy’s, sebuah resort sederhana nan teduh di lereng pantai berpasir putih. Kamar tidur di resort ini terbuat dari anyaman bambu dan berlantai kayu. Jendela terdapat disemua sisi ruang dimana teras menghadap ke laut lepas. Sebuah ayunan dari anyaman tali dikaitkan diantara dua kolom teras kamar kami untuk penghuninya bermalas-malasan. Selain itu terdapat pula sebuah kursi panjang dan meja bulat dari gelondongan kayu kelapa. Jendela kaca besar yang membatasi ruang tidur dengan teras memungkinkan kami untuk memandang laut lepas sambil tiduran. Dalam situasi ini, aku bisa menjadi orang paling malas sekampung.

Sayangnya, aku tidak bisa mendapatkan kamar yang aku sukai, B9. Kamar ini terletak di sisi kanan ujung resort dan memiliki cukup ketinggian dari dasar tebing. Aku suka karena ketinggiannya sehingga jendela tidak mudah dijangkau dengan tangan kosong. Dengan begitu, angin sepoi-sepoi berhembus ke dalam kamar ketika jendela terbuka dan aku pun tak khawatir akan kemungkinan orang menyusup ke dalam kamar. Terus terang saja, aku suka tidur di kamar dengan jendela terbuka, sebuah kebiasaan yang tidak bisa aku lakukan ketika tinggal di kota besar. Di kamar ini aku merasakan nikmatnya tidur dibuai angin pantai nan menyejukkan dan ditemani suara debur ombak.

Ah..tidur memang nikmat…

One Response to “Tidur di Sabang”

  1. Gus Gita Says:

    halo bli ode..bagus banget blognya..
    ceritanya bagus, jadi pingin ke subang.hehe..

    kapan main lagi? sayang sekali liburan kemarin nggak sempet menghabiskan waktu rekreasi bareng bli ode. semoga ada waktu luang lagi..

Leave a comment