Do’i pengen jadi raja

05/08/2009

Entah apa yang membuat do’i berubah menjadi sosok ketua yang begitu haus pujian tanpa ingin berbagi. Ya, do’i begitu aku menyebutnya. Sosok yang pandai berkelit dengan segala omong besar diluar nalarnya untuk tetap terlihat sebagai pemimpin, dan tentu saja terlihat pandai. Sosok yang berusaha mengelabui anggota kelompoknya dengan kemampuannya berkata-kata tanpa menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang yang berpendidikan dan paham situasi. Hanya mungkin strata yang membedakan. Sosok yang selalu memunculkan kata saya, saya dan saya tanpa menghargai usaha kolektif. Mungkin ini adalah karakter yang sudah ada sejak dulu dan baru muncul, atau tepatnya makin menjadi, belakangan ini. Kalau di komputer istilahnya ‘default‘.

Beberapa hari yang lalu aku membaca sebuah artikel di sebuah koran nasional, ditulis oleh Soe Tjen Marching, seorang komponis yang mengajar di SOAS University of London. Dia mengandaikan kebohongan publik dengan kisah karya HC Andersen. Tentang seorang raja yang berkeliaran ke tengah kota memamerkan jubah indah yang seolah ia kenakan. Sebuah cerita mengenai kebohongan yang bermula dari dibuatnya ‘jubah ajaib dan istimewa’ oleh penjahitnya sendiri. Sebuah cerita mengenai kebohongan para pembesar istana karena ketakutan mereka terhadap sang raja dan akhirnya sebuah cerita mengenai kebohongan publik karena cengkeraman kekuasaan tiran.

Apa yang aku lihat belakangan memiliki situasi yang beda-beda tipis alias beti. Do’i membuat ‘jubah ajaib dan istimewanya’ sendiri tanpa menyadari bahwa dia mulai mempercayai kebohongan-kebohongan yang diciptakannya sendiri. Ya, semua itu berkaitan dengan usaha-usaha untuk menunjukan kepada publik bahwa do’i adalah sosok unggul dan berkompeten. Sementara orang-orang disekelilingnya tidak berani untuk menegur atau memberi masukan karena karakternya. Hirarki juga menyebabkan hal ini menjadi lebih sulit. Bisa-bisa malah dimusuhi dan dijelek-jelekan. Bisa-bisa malah dia membuat larangan bagi anggota kelompoknya untuk bergaul dengan si pemberi masukan. Disini, do’i tertipu oleh dirinya sendiri.

Perbincangan dalam kelompok diskusi juga tidak membawa perubahan apa-apa. Lebih baik diam dan mengalah agar tidak terjebak ke dalam konflik, yang sebenarnya hanya adu pendapat saja. Lebih baik semua dianggap selesai dan jangan diungkit-ungkit lagi. Tetapi dianggap selesai memiliki makna yang sangatlah berbeda dengan selesai. Yang pertama hanyalah anggapan bahwa sesuatu telah selesai, sementara yang kedua berarti sebuah kondisi yang benar-benar selesai. Yang pertama bagaikan api dalam sekam. Hangat dan lama-lama membumihanguskan. Mudah dan jelas.

Apa yang saya lihat belakangan merupakan cerminan sosok do’i yang mulai kehilangan kepercayaan dari anggotanya. Sosok do’i yang panik karena orang disekelilingnya mulai mengetahui sosok do’i sebenarnya. Kepercayaan tidak muncul dengan sendirinya. Kepercayaan tidak bisa dibeli. Dia tidak muncul karena kemampuan bercuap-cuap atau tuntutan terhadap sekeliling kita. Membangun kepercayaan membutuhkan komitmen dalam segala bentuk. Sebelum do’i menuntut komitmen orang lain, dia haruslah berkomitmen terhadap apa yang dia yakini. Komitmen, sebuah kata yang mudah diucapkan tetapi perlu pengorbanan untuk menjaganya. Selalu datang tepat waktu adalah bentuk komitmen. Ketua yang berkomitmen tidak akan membiarkan anggotanya menunggu baik dalam acara pertemuan rutin. Ketua yang berkomitmen menghargai anggotanya yang datang tepat waktu dan bukannya malah memberi alasan klasik bila dia sendiri terlambat. Aku selalu ingat do’i selalu menuntut komitmen dari anggota kelompoknya. Aku sendiri berkesimpulan bahwa komitmen do’i tidak lebih besar dari anggotanya.

Seorang ketua adalah raja, sang pemimpin. Pemimpin tangguh adalah pemimpin yang memahami dan menjadi bagian dari sebuah proses. Dia adalah sosok yang memahami situasi dan kondisi nyata yang bergulir disekitarnya. Dia akan selalu menyampaikan kebenaran karena berdasar kebenaran itulah dia membangun. Dalam artikel tulisa Soe Tjen Marching itu, saya membaca pernyataan Nietzsche bahwa seorang seniman hebat tidak mengutamakan keindahan untuk membuai publik. Namun, demi menyampaikan kebenaran akal dan hati, ia berani mengambil resiko menentang tradisi, kepercayaan, bahkan kekuasaan yang diamini oleh hukum. Ia tidak hanya mencari kenyamanan dan keamanan bagi dirinya sendiri. Sebuah pernyataan yang menurut saya berlaku juga untuk pemimpin.

Raja tidak bekerja untuk mendapatkan puja-puji dan sanjungan. Ia berfokus pada tercapainya tujuan bersama yang dibangun melalui proses mufakat untuk sebuah kesepakatan. Ia memberi inspirasi pada kelompoknya dan membawa perubahan untuk kebaikan. Ia berproses. Kadang ia perlu mendapat cubitan-cubitan kecil untuk kembali menjejak tanah. Kadang cubitan-cubitan itu membuatnya meringis, kadang cubitan itu membuatnya mengebaskan tangan si pencubit, kadang cubitan itu membuatnya marah dan balik mencubit si pelaku. Sudah seharusnya cubitan-cubitan itu datang dari orang di sekelilingnya karena sudah menjadi kewajiban mereka untuk menyadarkan kembali sang raja dari tipuan-tipuan yang dia ciptakan sendiri. Sudah menjadi kewajiban mereka untuk menghentikan pencitraan yang bertolak belakang, pencitraan yang menipu. Dan menjadi pilihan do’i untuk menjadi raja dan mengenakan jubah ajaib nan istimewa sesungguhnya.

Boy…oh…boy

03/08/2009

Bermula dari sms tetangga, sama-sama orang bali, mengabarkan bahwa si ‘boy’ tidak pernah kelihatan. Memang biasanya dia selalu nongkrong di depan rumah kami, kadang di teras, kadang di jalan, kadang tidur di cerukan tanah di bawah pohon mangga. Orang yang sering lalu lalang di depan rumah kami, hampir pasti melihat dia. Dan pak Putu adalah salah satunya.

Kami sedang pulang kampung ke Bali ketika sms itu diterima ajik. Dan saat itu ia sudah mulai khawatir dan mengandaikan bermacam situasi yang mungkin terjadi. Meskipun begitu ajik dan aku berharap bahwa tidak terjadi apa-apa dengan si boy. Kami menyukai bahkan mencintai dia karena perilakunya. Dia sosok yang diam, ramah, serta menjadi penjaga rumah dan lingkungan sekitar kami. Ada saat dimana suara gonggongnya membuat kami terjaga dan waspada di malam hari. Terbangun dan melihat keluar melalui jendela adalah hal yang kami lakukan ketika ia menyalak terus menerus.

Boy adalah seekor anjing ras kintamani. Sebenarnya boy adalah pemberian seorang kawan ajik.Dia diserahkan kepada lami karena perasaan tidak enak si pemilik untuk memiliki, tepatnya tidak bisa memelihara, anjing di lingkungan perumahannya karena status si anjing yang dianggap haram. Jadi, kira-kira dua tahun lalu boy menjadi bagian dari keseharian kami. Pertama datang dia diberi nama Nengah oleh ajik dan mama karena dua alasan. Pertama, mereka tidak tahu siapa nama anjing itu karena lupa menanyakan saat diberikan. Kedua, karena ingin mengenang kawan yang memberi anjing ini.

Pertama kali datang, boy seperti sosok yang tidak bersahabat. Dia selalu menggeram ketika kami mendekat meski untuk mengelus kepalanya. Maklum, ketemu bos baru membuatnya gugup. Tidak seperti manusia yang selalu bisa tersenyum didepan bos barunya meski hatinya memaki. Lanjut cerita, kami mengikat boy untuk beberapa hari di teras kami. Terus terang, kami tidak mau berurusan dengan anjing panik, takut digigit. Dan dalam waktu yang tidak begitu lama, ajik bisa menaklukan boy dengan suplai makanan tiga kali sehari. Apapun makanan yang tersedia, baik yang dimasak mama ataupun yang dibeli, boy akan menikmati makanan yang sama.

Kami memutuskan untuk mengganti namanya menjadi boy karena satu kejadian lucu. Kala itu, pak Nengah (pemilik anjing sebelumnya, manusia) berkunjung ke rumah bersama istrinya. Kebetulan ajik tidak ada, jadi aku dan mama yang menemani mereka. Setelah berbincang ngalor-ngidul sambil menikmati kopi dan makanan kecil yang dihidangkan oleh mama, tiba-tiba boy datang bersama temannya seekor anjing milik tetangga samping rumah. Dan secara reflek mama berkata, “ Eee…Nengah keluar!!! Jangan masuk.” Tentu saja aku terkejut sekaligus menahan geli melihat situasi itu. Mama pun jadi salah tingkah karena persoalan kemiripan nama tersebut. Aku bereaksi dengan mendorong boy hingga dia duduk di teras. Kami berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan agar situasi kembali normal dalam persepsi kami. Saat itu harapan mama dan aku sama, yaitu agar pak Nengah tidak tersinggung. Akhirnya kami kembali ngobrol sampai akhirnya mereka berpamitan untuk pulang. Tidak lama setelah itu kami mengganti nama ‘nengah’ menjadi ‘boy’.

Waktu berjalan dan boy pun semakin dekat dengan kami. Ajik dan mama pun makin sayang. Buktinya asupan gizi si boy baik pagi, siang atau malam, tidak pernah terlewatkan. Sampai akhirnya saat kami kembali ke Jogja dan menemukan si boy sudah tidak disekitar kami. Ajik dan mama adalah dua orang yang paling kecewa. Bagaimana tidak, dari remaja hingga dewasa merekalah yang mengasuh boy. Memberi makan dan memandikan adalah dua hal yang rutin dilakukan. Kata orang, sudah terjadi ikatan diantara mereka bertiga.

Saat kami mengetahui dia hilang, ajik, mama dan aku berdiskusi dan berencana membawa kasus ini ke rapat tingkat RT dan RW. Hal ini menyangkut keselamatan para anjing. Beberapa waktu sebelumnya, seekor anjing betina kerempeng berwarna coklat sejenis peking yang kurang jelas pemiliknya mati diracun. Sebenarnya dia pacar si boy dan mereka sempat bercinta (tidak diketahuinya keabsahannya) hingga melahirkan 4 anak. Si ibu, sebut saja begitu, tinggal di tumpukan bebatuan di pekarangan rumah pak Broto di depan rumah kami. Dia memberikan perlindungan sekaligus mencarikan makanan untuk anak-anaknya. Sengaja kami biarkan disana agar anak-anak anjing yang baru berusia tak lebih dari seminggu itu mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Tetapi, tak lama kemudian anak-anak anjing hilang satu persatu. Tetangga kami melihat bahwa mereka diambil oleh anak-anak manusia di RT tetangga, mudah-mudahan saja mereka dirawat.

Selain keselamatan para anjing, kami juga mengkhawatirkan keamanan kampung. Anjing adalah teman setia manusia dan juga penjaga yang baik. Dia yang selalu terjaga ketika ada yang mengusik tak jelas. Dia yang selalu menggonggong dan melolong ketika melihat hal mencurigakan. Dan dia yang menyadarkan kami akan hal tersebut. Kembali ke cerita, si boy hilang dan 2 hari berlalu. Ajik dan mama selalu teringat saat-saat memberi makan. Biasanya diberikan setelah mereka selesai makan. Mungkin terbiasa dengan perasaan untuk berbagi dan ketika itu hilang mereka merasa kosong.

Pagi berikutnya, mama bersiap ke pasar ketika aku masih terlelap diselimuti dinginnya udara pagi. Perkiraanku sekitar jam 6 atau bahkan kurang karena dinginnya minta ampun. Saat itu aku terjaga karena mendengar suara endusan dan rintihan manja seekor anjing sampai akhirnya aku mendengar teriakan mama, “Ajiiik, boy pulang!!”. Sontak ajik berlari ke teras depan dan dilihatnya boy ada disana. Tiba-tiba ajik berkata, “De, boy pulang”. Setengah sadar, aku berkesimpulan bahwa ajik memberitahu tetangga di belakang rumah. Tapi setelah itu akupun berpikir bahwa sebenarnya mungkin ajik bermaksud memanggilku. Tetangga di belakang rumah dipanggilnya dengan sebutan ‘de’ dari asal kata ‘pakde’. Sementara ajik selalu memanggilku dengan sebutan a la bali yaitu ‘de’ meskipun lengkapnya adalah ‘gusde’ ataupun ‘ode’. Dan pagi itu ajik menyerukan nama ‘de’ yang bermakna ganda. Terkungkung oleh rasa kantuk yang luar biasa, aku asumsikan saja bahwa ajik memanggil tetanggaku itu sehingga aku merasa tidak perlu merespon. Dan aku pun kembali tidur.

Setelah kepulangan boy, ajik dan mama tersenyum karena senang. Tetapi keberadaanya tidak bertahan lama. Keesokan paginya, boy sudah menghilang tanpa jejak dan pesan sedikitpun. Bayangan situasi-situasi yang mungkin terjadi pun muncul kembali di benak kami. Sore harinya, sambil duduk di teras belakang dan ditemani istri ‘pakde’, kami mencoba mengira-ngira apa yang terjadi. Apakah boy diculik lalu dia lari dan semalam dia diculik lagi? Apakah dia kembali karena bisa melepaskan diri dari ikatan si penculik? Siapakah pelakunya? Apakah sekarang dia sedang diikat dengan kencang sekali dan mungkin tidak bisa meloloskan diri? Atau apakah dia sedang berdiri di salah satu sudut pasar hewan untuk dijual oleh si penculik? Atau jangan-jangan dia punya kekasih?

Semua pertanyaan itu muncul saat ajik mengatakan rencananya untuk memandikan boy. Ketika dia kembali pagi itu, dia memang tampak lusuh. Dan akhirnya ajik berujar pasrah, “Kalau dia harus pergi, mau bagaimana lagi?”. Kami pun beraktifitas dengan segala pikiran masing-masing tentang boy. Aku pergi untuk beberapa urusan dan kembali menjelang sore. Ketika bertemu ajik, tampaknya ia masih penasaran sekali dan geram dengan apa yang terjadi. Begitu juga dengan mama. Mereka berpikir bahwa boy disekap.

Hari sudah gelap ketika waktu menunjukkan pukul 6. Jangkrik sudah mulai mementaskan dendang malamnya membuat rotasi malam semakin sempurna. Dan kali ini ajik yang berteriak dari teras belakang, ”Weee…boy pulang lagi!”. Mama dan saya berjalan ke belakang dan bertanya”Mana jik?”. Ajik menunjuk ke area kosong sebelah rumah yang ditanami pohon ketela. Memang boy ada disana, dan ketika mendekati kami kulihat kakinya kotor ditutupi lumpur kering seperti hari sebelumnya. Kami mengamati bagian leher dan kakinya hingga menyadari bahwa mungkin dia tidak diculik. Mungkin tebakan terakhir kami yaitu boy memiliki seekor kekasih benar adanya. Mungkin dia pergi untuk beromansa dengan betinanya di suatu tempat yang dia tidak ingin kami tahu. Rupanya dia perlu menjaga privacy untuk cerita romannya. Mungkin dia beromansa di suatu tempat di seberang sungai tidak jauh dari rumah kami. Mungkin juga dia hanya melewati areal tanah becek untuk bertemu betinanya. Mungkin dia bercinta di tanah basah. Dan masih banyak kemungkinan lainnya. Semua hanya mungkin karena kami belum tahu kemana dia pergi.

Ya, boy membuat kami menerka, dan manusia memang suka menerka karena itu sesuatu yang manusiawi. Mudah-mudahan terkaan kami betul bahwa dia hanya pergi untuk beromansa dengan betinanya. Kabarnya anjing suka begitu, tetapi ini pertama kalinya dia menghilang untuk 5 hari. Dulu, betinanya yang sering berkunjung ke rumah. Tapi, apapun terkaan kami, kami senang boy masih bersama kami.

Boy…oh..boy, seandainya kamu bisa bertutur, kami akan senang mendengar cerita romansamu.

Tidur di Sabang

29/07/2009

Capek juga setelah berkutat dengan tesis selama lima hari berturut-turut hingga akhirnya aku putuskan untuk berkunjung ke Sabang. Liburan? Bukan istilah yang tepat untuk seorang penganggur karena setiap waktu adalah liburan. Sabang adalah pulau kecil terletak di sebelah utara kota Banda Aceh yang dibatasi oleh selat Malaka. Pulau ini terkenal karena merupakan tujuan wisata diving dan snorkling. Diperlukan waktu sekitar 45 menit untuk menyeberang dari pelabuhan Ulee Lheu ke pelabuhan Sabang dengan menggunakan kapal cepat. Kapal Ferry memerlukan waktu lebih panjang hingga mencapai 2 jam. Dan lebih lama lagi apabila berenang…(opsi terakhir jangan dicoba karena ombak lagi ganas). Waktu itu aku berangkat hari Jumat siang tepat setelah mengumpulkan proposal thesisku.

Pulau ini pulau yang memberi kenyamanan bagi setiap pengunjungnya. Disamping keindahan alamnya, suasana yang ditawarkan juga berbeda dengan suasana kota Banda Aceh. Tidak bermaksud membandingkan, tetapi di kota ini kehidupan lebih santai dan aku merasa seperti ada di dunia lain. Keka sangat senang dengan pulau ini. Sudah dua kali kami berkunjung dan dia selalu ingin kembali. Untaian pantai pasir putih dengan taburan kerang-kerang kecilnya disertai debur ombak sungguh membuat kami merasa tenang. Air asin yang membasahi tubuh kami saat berendam seolah meluruhkan semua persoalan hidup yang kami temui. Dan biasanya, setelah selama dua atau tiga hari kami tinggal, jiwa kami terasa segar dan bahagia.

Selama berkunjung di Sabang, kami biasanya menginap di Freddy’s, sebuah resort sederhana nan teduh di lereng pantai berpasir putih. Kamar tidur di resort ini terbuat dari anyaman bambu dan berlantai kayu. Jendela terdapat disemua sisi ruang dimana teras menghadap ke laut lepas. Sebuah ayunan dari anyaman tali dikaitkan diantara dua kolom teras kamar kami untuk penghuninya bermalas-malasan. Selain itu terdapat pula sebuah kursi panjang dan meja bulat dari gelondongan kayu kelapa. Jendela kaca besar yang membatasi ruang tidur dengan teras memungkinkan kami untuk memandang laut lepas sambil tiduran. Dalam situasi ini, aku bisa menjadi orang paling malas sekampung.

Sayangnya, aku tidak bisa mendapatkan kamar yang aku sukai, B9. Kamar ini terletak di sisi kanan ujung resort dan memiliki cukup ketinggian dari dasar tebing. Aku suka karena ketinggiannya sehingga jendela tidak mudah dijangkau dengan tangan kosong. Dengan begitu, angin sepoi-sepoi berhembus ke dalam kamar ketika jendela terbuka dan aku pun tak khawatir akan kemungkinan orang menyusup ke dalam kamar. Terus terang saja, aku suka tidur di kamar dengan jendela terbuka, sebuah kebiasaan yang tidak bisa aku lakukan ketika tinggal di kota besar. Di kamar ini aku merasakan nikmatnya tidur dibuai angin pantai nan menyejukkan dan ditemani suara debur ombak.

Ah..tidur memang nikmat…